MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI AGRARIS MADURA MELALUI PENDIDIKAN VIRTUAL OLEH PEMUDA DAN INSTRUMEN EKONOMI ISLAM
Oleh: Fitriatul Laili
Polemik Agraria di Madura di Era 4.0
Revolusi industri 4.0 terus menjadi
perbincangan hangat yang tidak pernah habis untuk dibahas. Sejak kehadirannya,
dunia mengalami disrupsi besar-besaran. Hampir semua perusahaan di dunia
melakukan persiapan untuk menghadapi era yang serba digital dengan teknologi
yang sedemikian rupa. Munculnya ojek online, seperti Go-jek maupun Grab
menjadi satu tanda bahwa Indonesia tengah mengejar ketertinggalannya dari
negara lain. Tidak hanya itu, aplikasi belanja berbasis online, seperti
shopee, lazada dan sebagainya, telah berhasil membuat akses belanja masyarakat
lebih mudah.
Sebagian besar cara yang dilakukan oleh
pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar di Indonesia dalam menghadapi
revolusi industri 4.0 juga telah tersebar hampir ke seluruh Indonesia. Sebagai
pulau kecil yang ada di wilayah Jawa Timur, Madura juga merasakan hal yang sama
atas apa yang sudah dicanangkan oleh pemerintah, misalnya ojek online
yang beroperasi di empat kabupaten di Madura dan mudahnya masyarakat dalam
melakukan belanja online. Di samping itu, sebagai pulau kecil yang
memiliki potensi agraria yang cukup tinggi, Madura menjadi kawasan yang
membutuhkan pengawasan langsung dari pemerintah dalam mempertahankan dan terus
mengembangkan potensinya.
Tanah seluas 5.475, 14 km2 dengan
55% berupa tanah kering, 10% tanah kritis, padang alang-alang, dan tanah pasir.
Selebihnya berupa sawah (11%), tegalan, hutan, kampung, kota dan
lainnya (Sastrosubroto dan Ginting, 2018). Dengan sekian luas tanah yang
terperinci, tanah di Madura masih terbilang sebagai tanah yang kurang subur.
Sehingga, dengan kadar garam yang cukup, tanah di Madura lebih cocok digunakan
sebagai tambak garam. Dalam hal ini Madura menjadi penghasil garam terbesar di
Indonesia dengan luas lahan mencapai 15.000 ha (risbang.ristekdikti.go.id,
2018).
Sebagai pulau yang kaya dengan hasil garam dan
pertanian lainnya, tentu tidak lepas dari konflik agraria antarmasyarakat
maupun dengan pemerintah. Hampir setiap tahun konflik agraria terjadi di
beberapa wilayah di Pulau Madura. Beberapa tahun terakhir beberapa wilayah di
Pamekasan terlibat dalam konflik agraria antara masyarakat dengan Pemerintah
Kabupaten (Pemkab) Pamekasan. Tanah seluas 178 ha telah diklaim menjadi milik
warga Kabupaten Pamekasan. Salah satunya tambak garam di Desa Majungan,
Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan. Tanah yang sebelumnya hanya diminta
masyarakat untuk dikelola menjadi tambak garam, kini sudah di klaim menjadi
milik warga. Dalam hal ini, wakil ketua DPRD Kabupaten Pamekasan telah
memberikan penegasan, bahwa tanah tersebut telah diserahkan kepada Perum
Perhutani untuk dijadikan hutan lindung pada tahun 1986 (jatim.antaranews.com,
2018).
Konflik agraria di Pulau Madura tidak hanya
terjadi di Kabupaten Pamekasan, di 3 kabupaten lainnya pun juga memiliki
problem agraria. Konflik agraria yang dikategorikan parah terjadi di Kabupaten
Sumenep, tepatnya di Desa Dasuk, Dapenda, Ambunten, Lombang, Lapadaya, dan
beberapa desa lainnya. Tahun 2016 sekitar 500 ha tanah beralih kepemilikan.
Kronologi alih kepemilikan ini memiliki banyak versi cara, mulai dari warga
yang tidak memiliki sertifikat tanah dan mendapat ancaman tertentu, sehingga
mereka terpaksa menjual tanahnya dengan harga murah. Di samping itu juga
terjadi pembelian tanah secara paksa oleh investor melalui pihak ketiga. Dengan
beberapa iming-iming, warga akhirnya terpaksa menjual tanahnya. Pembelian tanah
rencananya akan terus berlanjut sampai 1000 ha (maduraexpose.com, 2016).
Konflik agraria khususnya pada lahan pegaraman
di beberapa wilayah Kabupaten sumenep pun sudah terjadi sejak masa penjajahan
kolonial belanda pada masa pemerintahan VOC. Na’asnya, pasca kemerdekaan
Indonesia, tanah rampasan VOC diakui oleh pemerintah termasuk lahan di Madura
(Yulinda dkk, 2014).
Fenomena di atas menjadi problem tersendiri
bagi masyarakat Madura yang perlu diselesaikan dan tidak memunculkan konflik
lanjutan antarmasyarakat maupun dengan pemerintah. Oleh sebab itu, sudah lazim
bagi pemuda milenial untuk mengambil langkah dalam mewujudkan kehidupan
masyarakat madani yang aman dan damai. Dibalik itu, ekonomi Islam juga memiliki
peran langsung dalam menyikapi dan mengatasi masalah agraria melalui
instrumen-instrumen di dalamnya.
Ekspektasi
Lahirnya Masyarakat Madani di Tengah Konflik Agraria
Di tengah konflik agraria yang melanda
sebagian besar wilayah di Madura, terwujudnya masyarakat madani menjadi harapan
semua kalangan. Pasalnya, sebagai pulau kecil memiliki keinginan kuat untuk
hidup damai dan tentram antarmasyarakat dan pemerintah setempat. Namun
lagi-lagi permasalahan tanah tidak ada habis pembahasannya. Sebagaimana yang
terjadi pada akhir tahun 2017 ketika salah satu kiyai di Sampang terbunuh
lantaran menolak untuk menjual tanahnya sebagai lahan pembangunan waduk nipah
di Banyuates, Sampang (Voila.id, 2018).
Fenomena di atas menjadi salah satu tanda
bahwa telah terjadi kerusakan moral masyarakat dalam bidang sosialnya. Budaya
hormat dan santun terhadap kiyai pun menjadi hal yang terbelakang, ketika
keinginan ataupun ego lebih besar dari menahan nafsunya. Hal ini menjadi salah
satu tanda ketidakseimbangan antarkehidupan masyarakat dalam ranah sosialnya. Talcott
Parsons telah menyebutkan ketika terjadi perubahan pada satu bagian akan
menyebabkan ketidakseimbangan dan pada gilirannya akan menciptakan perubahan
pada bagian lainnya (Raho, 2007).
Dalam ilmu sosial, masyarakat madani pada
dasarnya lebih diartikan sebagai konsep
yang saling berkaitan antara masyarakat yang satu dengan yang lain dan
dilawankan dengan “masyarakat politik” yang secara umum dipahami sebagai negara
(Fakih, 1999). Dalam hal ini, perwudujan masyarakat madani lepas tangan dari
persoalan campur tangan politik. Masyarakat hanya butuh tenang, beradaptasi dan
mampu menerima apa yang sudah dialami sebelumnya.
Berdasarkan sudut pandang Islam, istilah
masyarakat madani tidak lepas dari tiga aspek kajian utama dalam mewujudkannya,
yaitu agama, peradaban, dan masyarakat kota (Rahardjo,1999). Ketika agama sudah
dinilai baik dan mendukung, maka kedua aspek lainnya dengan mudah diwujudkan.
Selanjutnya peradaban yang menjadi proses atau langkah dalam mewujudkan
masyarakat madani. Proses yang selama ini menjadi langkah masyarakat dalam
mewujudkannya. Sehingga terwujudlah masyarakat kota yang harmonis dan tidak
sarat konflik.
Pendidikan Virtual Langkah Awal Pemuda Milenial
Sebagai pemuda yang hidup di era milenial
tentu menjadi harapan besar masyarakat Madura untuk turut andil dalam
menyelesaikan problematika yang ada serta memberikan penanaman nilai-nilai
moral bagi masyarakat yang selama ini memiliki harapan besar untuk hidup damai
dan tentram.
Sebagai langkah awal pemuda dalam memainkan
perannya ialah dengan memberikan pendidikan virtual bagi masyarakat Madura.
Mengingat pengguna media sosial tidak hanya dikalangan remaja, melainkan orang
dewasa pun juga aktif sebagai pengguna media sosial, maka tidak ada salahnya
jika pendidikan virtual juga dapat diterapkan kepada masyarakat Madura yang
notabenenya kasar dan gampang emosi.
Pendidikan semacam ini dapat dilakakukan
pemuda dengan cara menginformasikan hal-hal yang berkenaan arti penting dari
kehidupan yang aman, tentram dan damai antara yang satu dengan yang lainnya.
Pasalnya, meningkatnya kecanggihan teknologi menjajikan perubahan yang cukup
besar bagi masyarakat. Akses multimedia yang menjajikan ini dapat merubah cara
belajar seseorang, memperoleh informasi, menyesuaikan informasi dan sebagainya
(Sugianto dkk, 2013).
Meskipun telah memberikan pendidikan virtual
berbasis e-learning, bukan berarti pemuda milenial tidak harus terjun
langsung untuk melihat fakta di lapangan secara langsung. Sesekali turun ke
lapangan untuk melihat kondisi real di lapangan memang dibutuhkan. Dengan ini,
keyakinan masyarakat akan kepedulian pemuda
milenial tertanam lebih kuat dan mereka jauh merasa dipedulikan dalam
menjalani kehidupannya sehari-hari.
Instrumen Ekonomi Islam Menyikapi Persengketaan
Agraria di Madura
Selama ini pembahasan dalam Islam selalu
komprehensif. Berbagai bidang kehidupan dibahas dan diatur dalam Islam,
baik sosial, ekonomi, politik, dan
kehidupan yang bersifat spiritual (Huda dkk, 2015). Kehadiran ekonomi Islam di
tengah-tengah masyarakat muslim merupakan respon cendekiawan Muslim terhadap
berbagai tantangan ekonomi pada waktu-waktu tertentu (Karim, 2010). Pasalnya,
sistem ekonomi konvensional tidak sebagaimana ekonomi Islam yang pada
hakikatnya mengutamakan kemaslahatan bersama.
Konflik agraria yang terjadi di Pulau Madura
tentu dapat teratasi dengan baik ketika melibatkan secara langsung ekonomi
Islam di dalamnya. Pasalnya, setiap sistem ekonomi tentu memiliki nilai-nilai
instrumental tersendiri. Dalam ekonomi
Islam terdapat instrumen yang meliputi zakat, larangan riba, kerja sama,
jaminan sosial, dan peranan negara (Alidrus, 2012).
Perintah zakat dalam ajaran Islam sudah jelas
keberadaannya. Selama ini perintah zakat selalu dirangkaikan dengan perintah
shalat (Alidrus, 2012). Sehingga kewajiban zakat sebagai rukun Islam tidak
perlu menjadi perdebatan lagi. Zakat dalam ekonomi Islam tentu menjadi satu
keberuntungan bagi masyarakat, karena adanya zakat dapat mensolidkan hubungan
antarmasyarakat. Selama ini yang kita ketahui zakat dapat berupa zakat fitrah
dan zakat harta. Meskipun demikian, perlu digaris bawahi bahwa zakat tidak sama
dengan pajak, karena pajak –pajak penghasilan- dikenakan pada pendapatan,
sedangkan zakat lebih komprehensif. Dalam artian, zakat bukanlah bunga yang
dibebankan pada tabungan tetapi juga pada harta benda, terutama harta kekayaan
yang tertimbun dan tidak digunakan (Alidrus, 2012).
Setiap masyarakat yang mempunyai lahan
pastinya akan dikenakan pajak sesuai dengan luas tanah yang dimiliki. Sehingga
mau tidak mau masyarakat harus tetap membayar pajak kepada pemerintah. Demikian
pula dengan zakat, selama ini kita sering kali mendengar budaya rokat tanah atau
rokat pabungkon di Madura. Budaya tersebut menjadi kegiatan rutin
masyarakat sebagai bentuk rasa syukur dan memohon rahmat limpahan hasil buminya
dengan mengundang tetangga dan kerabat dekatnya. Namun hal tersebut, belum
cukup dikatakan sebagai zakat melainkan sebagai tasyakkuran. Oleh sebab itu,
setelah panennya berhasil masyarakat juga harus melakukan zakat harta sesuai
dengan nisabnya.
Instrumen kedua dalam ekonomi Islam ialah
larangan riba. Riba dapat diartikan sebagai penambahan pembayaran utang dalam
jangka waktu tertentu sesuai dengan jumlah dan lamanya utang. Hal ini sudah
jelas dilarang dan diharamkan oleh Islam, salah satunya dalam QS. Al-Baqarah
ayat 275, 276,277, 278 (Alidrus, 2012). Keberadaan riba tentu memberikan dampak
negatif dan kesengsaraan bagi masyarakat kecil yang selama ini hanya mengikuti
alur aturan permainan kaum borjuis yang sewaktu-waktu bisa berubah.
Kerja sama di bidang ekonomi juga menjadi hal
yang perlu dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah. Kegiatan semacam ini sudah sepantasnya
diterapkan dalam bidang ekonomi, produksi, dan distribusi (Alidrus, 2012).
Sehingga, tidak ada pihak yang dirugikan. Mengingat belakangan ini kondisi
pegaraman di Madura sedang mengalami masa kritis, baik dibidang penjualan pada
pabrik maupun pemasarannya.
Menjual garam pada pengumpul sering kali
membuat petani garam mengalami kerugian. Mulai dari penjualan garam yang tidak
dibayar secara tunai hingga ketidak akuratan timbangan garam. Faktanya, petani
garam hanya melakukan penakaran garam pada karung ukuran 50 kg, namun berat
bersih garam bisa mencapai 60-65 kg perkarung (Alham, 2015). Belum lagi impor
garam yang terjadi sejak tahun 2015. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri
bagi ekonomi Islam untuk menyikapinya. Sehingga, untuk mengatasi hal tersebut
kerja sama ekonomi antara pemerintah dan masyarakat sangat urgen untuk
dilakukan.
Bersambung pada instrumen selanjutnya yaitu
jaminan sosial bagi masyarakat. Setidaknya ada tujuh ajaran Islam untuk
mewujudkan jaminan sosial bagi masyarakat, di antaranya: Pertama,
manfaat sumber daya alam harus dinikmati oleh semua makhluk. Kedua,
kehidupan fakir miskin harus mendapat perhatian dari masyarakat yang mempunyai
kekayaan lebih dari cukup. Ketiga, kekayaan tidak boleh hanya berputar
di antara orang-orang kaya. Keempat, orang Islam diperintahkan untuk
selalu berbuat kebaikan kepada masyarakat, sebagaimana Allah telah berbuat kebaikan
kepada manusia. Kelima, orang muslim yang tidak mempunyai kekayaan
diperintahkan agar bersedia menyumbangkan tenaganya untuk tujuan sosial.
Keenam, dalam menyumbangkan sesuatu untuk kepentingan sosial dan
kepentingan pribadi serta keluarganya sebagai unit terkecil dalam masyarakat,
seorang muslim dilarang mencari pujian dari sesama manusia. Ketujuh,
jaminan sosial harus diberikan, skurang-kurangnya kepada mereka yang telah
disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai pihak yang berhak atas jaminan sosial
(Alidrus, 2012).
Dalam mewujudkan jaminan sosial yang sudah
disebutkan di atas, tentu perlu ada keseimbangan antara instrumen satu dengan
yang lainnya, tidak ada kata yang kuat menindas yang lemah. Justru yang paling
dibutuhkan ialah saling merangkul antara satu dengan yang lainnya.
Negara memiliki peran penting dalam
perkembangan ekonomi disuatu wilayah. Pasalnya interaksi antar manusia dalam
suatu wilayah memerlukan suatu kepemimpinan atau institusi negara (Huda dkk,
2015), karena keberadaan negara dan elemen-elemen pemerintah di dalamnya harus
memberikan identitas, perlindungan, dan jaminan sosial (Huda dkk, 2015) kepada
masyarakat dalam menjalani kehidupannya. Ketika suatu negara mampu memberikan
pelayanan terbaik kepada masyarakat maka, konflik agraria khususnya di Pulau
Madura dapat teratasi dengan sempurna.
Sebagai pulau yang memiliki julukan sebagai
pulau agraris tentu tidak menutup kemungkinan konflik –persengketaan agraria-
turut terjadi di dalamnya. Konflik ini tidak hanya terjadi antarmasyarakat,
namun antara masyarakat dan pemerintah. Terjadinya konflik agraria tentu
menjadi hambatan juga terhadap perkembangan budaya rokat tanah atau rokat
pabungkon yang selama ini menjadi budaya Masyarakat sebagai rasa syukur dan
permohonan rahmat atas tanah dan hasil buminya.
Langkah awal untuk mengatasi hal tersebut,
banyaknya pemuda yang termasuk dalam kategori milenial juga digerakkan
perannya, yakni dengan cara memberikan pendidikan virtual bagi masyarakat
akan pentingnya menjaga perdamaian dan
meredakan egonya. Di samping itu, sebagai negara yang mayoritas muslim tentu
peranan ekonomi Islam juga dilibatkan di dalamnya. Setidaknya terdapat 5
instrumen ekonomi Islam yang dilibatkan dalam mensiasati penyelesaian konflik
agraria di Madura, yakni zakat, larangan riba, kerja sama, jaminan sosial, dan
peranan negara. Ketika semua instrumen telah berhasil diterapakan, maka
masyarakat madani yang selama ini menjadi impian masyarakat Madura akan
terwujud dengan mudah.
* Mahasiswi Semester 5 Program Studi (Prodi) Tadris
Ilmu Pengetahuan Sosial (TIPS) dan Pengurus UKK LPM Activita 2019-2020 Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Madura.
Terbaik 😁
BalasHapus